Kisah Toleransi KH Idham Chalid dan Buya Hamka
Kisah Toleransi KH Idham Chalid dan Buya Hamka
Ada sebuah kisah yang patut kita teladani sebagai umat Islam dalam
menjaga ukhuwah. Kisah yang terjadi antara pemimpin Nahdlatul Ulama, KH
Idham Cholid, dan pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang ketika itu
sedang melakukan Sholat Subuh berjama’ah di kapal laut ketika perjalanan
ke tanah suci.
Di Indonesia, ada banyak organisasi yang berasaskan Islam yang dapat
ditemukan seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad,
dan lain sebagainya. Diantara organisasi itu, NU dan Muhammadiyah,
adalah salah satu organisasi Islam terbesar yang banyak penganutnya di
Indonesia. Perlu diketahui bahwa kedua organisasi ini sering disalah
artikan sebagai suatu aliran dalam Islam seperti halnya aliran
Mu’tazilah, Qadariyah, Jahmiyah, dan lain-lain. Padahal, keduanya
hanyalah sebagai organisasi massa (ormas) yang lebih tepatnya disebut
sebagai organisasi Islam.
Dan yang paling penting adalah tidak ada satu pun prinsip di dalam
organisasi Islam tersebut yang bertentangan atau menyimpang dari
ushuludin atau pokok-pokok ajaran agama Islam. Kesemuanya secara umum
disatukan dalam satu ikatan aqidah yang dianut jumhur kaum muslimim
sepanjang zaman, yang lazim dikenal Ahlusunnah wal Jama’ah. Kalau pun
terdapat perbedaan pendapat yang terjadi, atau mengatasnamakan
ormas-ormas tersebut, itu hanyalah masalah furu’iyyah atau hal ini
bukanlah berarti mereka bisa dicap beda pemahaman.
Perbedaan yang ada, seperti dalam masalah furu’iyyah (cabang agama),
metode dakwah, cakupan, dan sebagainya justru akan membuat ormas-ormas
tersebut akan saling menguatkan dan menopang dakwah. Menjadi sarana
berlomba-lomba dalam kebaikan sebagaimana yang telah diperintahkan dalam
Al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 148. Hanya saja, memang tidak bisa
dipungkiri, adanya sebagian oknum yang picik pandangan, saling sikut
dengan sesama saudaranya, bahkan saling hujat, hanya karena berbeda
organisasi dan bendera dakwah. Orang-orang seperti ini harus segera
disadarkan. Karena sadar atau tidak sadar dia telah melakukan
kemungkaran besar, yang bukan saja akan berimbas pada dirinya, tetapi
mudharatnya bisa menimpa jama’ah kaum muslimin pada umumnya.
Betapa indahnya hidup ini jika kita bisa mempererat tali ukhuwah
diantara kita sehingga perbedaan yang terjadi tak akan mampu mempecah
belah persaudaraan kita. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al
Hujurat ayat 10 yang menyatakan bahwa sesungguhnya orang-orang beriman
itu bersaudara. Dan Rasulullah SAW pun menambahkan bahwa orang mukmin
itu ibarat satu tubuh, apabila ada anggota tubuhnya sakit maka seluruh
tubuh akan merasakan sakitnya. Di hadits lain pun disebutkan bahwa
Rasulullah SAW bersabda barangsiapa yang hendak merasakan manisnya iman,
hendaklah ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.
Sungguh indah persaudaraan Islam ini.
Ada sebuah kisah yang patut kita teladani sebagai umat Islam dalam
menjaga ukhuwah. Kisah yang terjadi antara pemimpin Nahdlatul Ulama, KH
Idham Cholid, dan pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang ketika itu
sedang melakukkan perjalanan ke tanah suci. Saat sedang dalam perjalanan
menuju tanah suci di dalam sebuah kapal laut, waktu melakukan sholat
subuh berjamaah, para pengikut Nadhlatul Ulama heran saat KH Idham
Cholid yang mempunyai kebiasaan menggunakan doa qunut dalam
kesehariannya, malah tidak memakai doa qunut tatkala Buya hamka dan
sebagian pengikut Muhammadiyah menjadi makmumnya.
Demikian pula sebaliknya, tatkala Buya Hamka mengimami shalat subuh,
para pengikut Muhammadiyah merasa heran ketika Buya Hamka membaca doa
qunut karena KH Idham Cholid dan sebagian pengikut NU menjadi makmumnya.
KH Idham Cholid adalah tokoh pemimpin NU yang mempunyai kebiasaan
membaca doa qunut dalam shalat shubuh. Namun, saat ditunjuk menjadi imam
shalat subuh, beliau tidak membacanya demi menghormati sahabatnya Buya
Hamka dan para pengikutnya. Padahal, dalam tradisi NU membaca doa qunut
dalam shalat subuh adalah sunah muakkad. Sungguh ini adalah tindakan
yang begitu arif dan bijak. Begitu pun sifat kearifan ditunjukan oleh
pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang kesehariannya tidak membaca doa
qunut justru membaca doa qunut saat mengimami shalat subuh dengan alasan
yang sama. Mereka malah berpelukan mesra setelah shalat, saling
menghormati, dan saling berkasih sayang.
Inilah para pemimpin yang sebenarnya yang begitu dalam dan luas
keilmuan dan wawasannya. Meskipun terdapat perbedaan pendapat tetapi
tetap bersatu dalam persaudaraan. Mereka lebih mengedapankan ukhuwah
Islamiyyah ketimbang masalah khilafiah yang tidak akan ada ujungnya.
Mereka tidak mengenal istilah saling mencela, mengejek, atau saling
menuduh sesama muslim yang berbeda pandangan yang justru akan
menimbulkan suatu fitnah.
Namun, sayangnya banyak dari orang-orang yang mengaku menjadi pengikut
pemimpin mereka malah tidak bisa mencontoh sifat kebesaran jiwa yang
ditunjukan para pemimpinnya. Banyak diantara mereka saling meributkan,
menyibukan diri dengan mencari-cari perbedaan, dan menyalahkan satu sama
lain yang berbeda pendapat dan tidak jarang saling mengejek dan
menghina bahkan sampai menyesatkan sesama muslim yang berseberangan
dengannya. Mereka tidak sadar bahwa tindakan yang dilakukannya hanya
memecah belah umat dan sungguh ini adalah perbuatan yang lebih hina di
mata Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Ini adalah fakta dan memang benar adanya. Contoh yang paling nyata
adalah menjamurnya tulisan-tulisan di berbagai media khususnya media
online seperti blog atau website yang memaparkan pendapat-pendapat yang
dianggap paling benar sendiri dan menyalahkan orang lain sesama muslim
yang berbeda pendapat dengannya. Apa yang mereka utarakan sebenarnya
hanyalah foto copy alias copy paste dan taqlid dari orang lain, bukan
lahir dari keluasan ilmu, kefaqihan dan kealiman, apalagi dari
kerendahan hatinya. Tapi sayangnya, sikap dan perilaku mereka, seolah
mufti tertinggi. Tidak seperti para Imam Ahlus Sunnah yang sangat bijak
dalam menyikapi khilafiyah khususnya dalam keragaman amal syariat.
Kenyataan ini memang sangat berbeda dengan sebagian manusia yang sangat
ingin mengikuti mereka para imam Ahlus Sunah, tetapi tidak mampu
meneladani akhlak para imamnya. Mencela dan mensesat-sesatkan sesama
muslim menjadi pekerjaan tetap sebagian orang tersebut, cuma karena
perbedaan furu’. Lucunya lagi adalah mereka yang mencela dan
mensesat-sesatkan bukan ulama, hanyalah thalibul ilmi (penuntut ilmu)
yang baru duduk di satu majelis –tanpa mau bermajelis dengan yang lain-
tetapi sayangnya berperilaku seakan ulama besar dan ahli fatwa. Sungguh,
mereka baru di tepian pantai, tapi sayangnya berperilaku bagai
penjelajah lautan. Mereka baru dipermukaan, tapi sayangnya bertingkah
bagai penyelam ulung. Nasihat bagi mereka selalu ditolak, kecuali hanya
dari kelompoknya saja. Sungguh, sebenarnya mereka sangat layak
dikasihani. Mereka tidak tahu bahwa kesalahan ijtihad tetap dihargai
satu pahala oleh syariat, tetapi justru mereka menghargainya dengan
tuduhan ‘sesat’, dan ‘bid’ah.’ Mereka menampilkan Islam dengan wajah
yang keras, padahal itu adalah pengaruh dari kepribadian mereka sendiri,
bukan Islam.
Cobalah saudaraku, berpikiran jernih dan dewasa, elegan dan bijak,
dalam menghadapi khilafiyah fiqhiyah. Contohlah sikap para imam yang
anda pegang, betapa kebesaran hati mereka mampu menjaga ukhuwah yang
terjalin. Sikap seperti inilah yang seharusnya kita terapkan dalam
menyikapi perbedaan diantara sesama kita sebagai umat Islam. Para imam
adalah pemandu kita, kalau bukan mengikuti mereka, siapa lagi yang kita
ikuti. Emosi dan hawa nafsu serta syetan laknatulloh?
Wallahu a’lam bishshawab
Comments
Post a Comment